sejarah islam nusantara

Islam pun Belum Tentu Kebal Devide et Impera

perpecahan
perpecahan

Devide et impera

Sebuah semboyan masyhur milik orang-orang Belanda yang telah berkuasa selama 3 setengah abad di Nusantara ini. Semboyan sederhana yang bisa dikatakan berhasil membuat mereka makmur di abad-abad pertengahan. Hindia Belanda benar-benar membuat mereka kaya makmur sentosa. Karena devide et impera.

Guru-guru sejarah di sekolahan saya sering menyebut “politik adu domba” atau dalam istilah Machiavelli adalah ‘devide et impera’ yakni memecah-belah untuk menguasai. Artinya, sebuah penjajahan di dalam sebuah negara tidak dapat menguasai lawan atau penduduk atau wilayah yang dikuasainya  kalau ada rekayasa pecah-belah di dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat yang dikuasasi. Teori Machiavelli ini sering diajarkan dalam sejarah NKRI, dalam pelajaran Sejarah Indonesia.

Intinya, semboyan ini memiliki makna yang akhirnya bermuara pada suatu strategi politik yang licin. Politik adu domba. Bukan politik dagang sapi yang marak sekarang. Meski sedikit banyak sama-sama mengandalkan kelicinan.  Apa yang dilakukan Belanda benar-benar sebuah strategi yang brilian. Itu harus diakui oleh seluruh orang Indonesia. Buktinya, bisa apa orang Indonesia menghadapi Belanda.

VOC
VOC

Politik memecah belah atau adu domba ini ditunjukan ketika memerangi kerajaan-kerajaan di Indonesia. Indonesia, pada abad ke-13 saat kedatangan Belanda, merupakan negeri dengan kumpulan-kumpulan kerajaan yang tersebar dari ujung barat, Aceh, sampai menyentuh tanah Maluku dan Papua. Setiap kerajaan memiliki daerah kekuasaan masing-masing. Belum ada sebuah keterikatan di antara mereka. Kalaupun ada, itu karena faktor satu agama saja, yaitu Islam. Meski begitu, tetap saja gengsi kekuasaan membuat mereka belum mampu mengkonsolidasi sebuah aliansi kerajaan Islam yang tangguh.

Dulu, ketika Majapahit diperintah oleh Hayam Wuruk dan Patihnya yang termasyhur, Gajah Mada, seluruh kerajaan di Nusantara, telah ditundukan oleh Majapahit. Sehingga berubahlah daerah kepulauan Nusantara ini menjadi negara maritim pertama. Majapahit berhasil menyisihkan segala macam penghalang dan menyatukan seluruh daerah. Apalagi daerah kekuasaan Majapahit ditenggarai lebih luas daripada luas wilayah Indonesia yang sekarang.

Akan tetapi memang, sebuah kekuasaan tidak akan bertahan abadi. Dan yang lebih mengejutkan, Majaphit tidaklah runtuh karena faktor serangan dari kerajaan lain. Tapi dari faktor pemberontakan-pemberontakan dan perang saudara yang tak pernah usai.  Dengan kata lain faktor intern lebih banyak menentukan. Persatuan yang dibangun atas nama Majapahit sedikit demi sedikit lenyap tak berbekas. Ditambah dengan faktor kebangkitan kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Jawa, habislah kejayaan Majaphit sebagai negara persatuan.

Persatuan merupakan faktor utama yang membuat sebuah negara menjadi sangat kuat. Inilah yang dijadikan Belanda sebagai sasaran serangan mereka. Dan akhirnya, kerajaan-kerajaan di Nusantara pun akhirnya takluk di tangan Belanda. Tidak peduli seberapa dahsyat perlawanan mereka, seperti yang kita tahu pada Perang Padri atau Perang Diponegoro, tetap saja Belanda berhasil menaklukan mereka. Meski dengan cara yang licin, toh, mereka benar-benar memukul titik kelemahan sekaligus kekuatan utama kerajaan-kerajaan tersebut.

kerajaan banten
kerajaan banten

Di kerajaan Banten, ketika Sultan Ageng Tirtayasa memerintah, Belanda pertama kali mendarat di negeri ini. Dan di kerajaan Banten pulalah, Belanda pertama kali menggunakan semboyan ini. Ketika pertama kali mendarat di Banten, Belanda diterima dengan baik sebagai pendatang di Banten. Namun, keangkuhan sifat mereka ditambah lagi kesan bahwa mereka tamak membuat mereka diusir dari Banten. Tidak, mereka tidak melawan. Tapi yang pasti, ada dendam di sana.

Selanjutnya, Belanda datang untuk kedua kalinya di Banten. Tapi akhirnya mereka menemui hambatan untuk yang kedua kalinya. Hingga akhirnya mereka hijrah ke daerah Sunda Kelapa atau Jayakarta. Di sanalah VOC didirikan sebagai sebuah kongsi dagang. Kota Jayakarta pun berubah namanya menjadi Batavia.

Sontak, Sultan Ageng Tirtayasa pun merasa tersaingi dengan keberadaan Belanda di Batavia. Asal tahu saja, Banten ketika itu merupakan pusat perdagangan yang amat ramai. Sehingga Banten ketika itu meraih kejayaannya. Dan Belanda membuat sebuah pusat perdaganan lainnya di dekat Banten. Wajarlah Sultan marah.

Tanpa banyak kompromi, Banten pun menggempur Belanda dan VOC di Batavia. Belanda kewalahan menghadapi gempuran ini, meski mereka sudah membangun benteng sebagai persiapan. Bisa apa mereka di kandang musuh.

Namun, devide et impera-lah yang memegang arus kendali peperangan ini. Sultan Haji, anak dari Sultan Ageng Tirtayasa, dijadikan Belanda sebagai sekutu. Maka pecahlah perang saudara di Banten, antara ayah anak ini. Belanda sudah pasti memihak Sultan Haji dan membantu mereka ketika peperangan. Walhasil, Sultan Ageng Tirtayasa pun kalah dan akhirnya dipenjarakan. Ironis memang.

Namun, apa yang terjadi setelahnya merupakan sebuah hal yang merugikan sebenarnya bagi Banten. Pasca kemenangan Sultan Haji, ia harus menandatangani perjanjian dengan VOC pada 1684, sebagai harga bantuan Belanda kepadanya. Dengan perjanjian itu, Belanda berhasil memonopoli perdagangan di Banten. Bukan hanya itu saja, Belanda juga berhasil mengendalikan pemerintahan di Kerajaan Banten. Sultan-sultan Banten menjelma menjadi boneka-boneka pemerintahan Belanda.

Perpecahan pula-lah yang menghancurkan kejayaan kerajaan Mataram. Hingga kini, bekas kejayaannya bisa dilihat dari dua kerajaan, Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta. Hal yang sama juga terjadi di Sumatera Barat, di mana kekuatan Islam diadu oleh Belanda dengan kekuatan adat. Juga di Ternate dan Tidore, meski mereka sempat gagal juga di sini. Namun, politik mereka benar-benar berhasil membuat Ternate dan Tidore kelimpungan.

Dengan proklamsi kemerdekaan Indonesia, berakhirlah sudah penjajahan di bumi Indonesia ini. Meski demikian, Belanda tetap saja berusaha menguasai kembali Indonesia. Dua agresi yang dilakukan Belanda menunjukannya. Untung saja, persatuan rakyat Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno-Hatta sudah kuat. Maka, mau diserang dari udara, darat atau laut pun, Belanda sudah tidak bisa lagi menguasai Indonesia. Lagipula, Belanda seperti sudah kehilangan akal dengan melakukan agresi tersebut di depan mata PBB. Sebuah blunder yang jarang mereka lakukan. Coba saja mereka menempuh cara lain, seperti melakukan strategi devide et impera kembali, mungkin Indonesia bisa lebih lama lagi merasakan kemerdekaan.

Apa yang terjadi masa penjajahan Belanda adalah sebuah pelajaran. Apa yang menyatukan seluruh rakyat Indonesia merupakan sesuatu yang vital di sini. Apalagi letak geografis Indonesia tidaklah terlalu mendukung sebenarnya. Indonesia berbentuk gugusan kepulauan yang dipisahkan oleh perairan. Sedikit perpecahan di satu pulau bisa menghilangkan daerah itu dari wilayah kekuasaan negara ini. Seperti yang terjadi di Timor Timur.

Orang Indonesia sebenarnya memiliki kemampuan yang luar biasa untuk membaur dalam perbedaan. Tenggang rasa adalah salah satu sikap orang Indonesia yang berhasil menyatukan negara ini. Maka, nasionalisme cinta pada negara yang ditanamkan oleh orde lama maupun orde baru berhasil diterapkan. Berbagai perbedaan berhasil disingkirkan.

Sayang, orang Indonesia sepertinya sekarang sedang bingung. Persatuan negara sedang dipertanyakan. Para pemimpin Indonesia kini tidak habis-habisnya bertengkar. Padahal devide et impera sudah tidak ada lagi. Pemerintahan Indonesia kini semakin sibuk dengan perang politik. Antara pemerintah dengan oposisi. Antara oposisi satu dengan yang lainnya. Maka tak heran Indonesia seperti jalan di tempat. Ada sebuah tulisan menarik dari serbasejarah.wordpress.com asuhan Kopral Cepot. Pak Kopral – saya menyebutnya – mempertanyakan mengapa kita tidak bertanya alasan Belanda menerapkan devide et impera. Malah dalam pelajaran sejarah, kita hanya baru mempelajari kenapa Belanda bisa lama menjajah Indonesia. Belum sampai pada pencerahan, mengapa Belanda memakai taktik ini. Lebih lanjut, Pak Kopral menjelaskan pendapatnya, yang menurut saya sangat betul sekali. “Tidak akan suatu kebijakan politik yang berhasil tanpa ada unsur pendukungnya, bagaimana pun baiknya suatu kebijakan politik kalau tanpa partisipasi politik maka akan gagal total dan sebaliknya sejelek-jeleknya kebijakan politik tetapi kalau ada unsur pendukung yang mengsukseskannya tentunya kebijakan tersebut akan berjalan dengan sendirinya. Politik devide et impera adalah produk penjajah yang tak kan sukses kalo tidak ada pihak yang bodoh dan haus kekuasaan sehingga mereka lebih suka bekerja sama dengan Belanda selama mereka (bersama Belanda) dapat menjajah rakyat di Nusantara ini.” (serbasejarah.wordpress.com)

Anehnya, orang Indonesia padahal kebanyakan beragama Islam. Toh, agama saja tak cukup kalau sudah bicara tentang kekuasaan. Apa karena penyatuan Indonesia berlatar belakang-kan nasionalisme dan bukannya keislaman. Mungkin, di zaman ini, Indonesia jika menyatukan rakyatnya berdasarkan asas keislaman, merupakan negara Islam yang patut diperhitungkan. Soalnya orang Islam di Indonesia yang luas ini ada banyak. Bukan tidak mungkin, pasca kejatuhan Turki Utsmani sebagai negara Islam, Indonesia menjadi salah satu negara pelindung Islam yang kuat.

Tapi, kenyataan memang berbeda dengan harapan. Kita tidak bisa menyalahkan para konseptor-konseptor bentuk negara ini. Mau jadi sekularis atau apa, ini semua sudah terlanjur terbentuk. Toh, kalau mau direnungi, jika Islam yang menyatukan negara ini, dan bukan nasionalisme, belum tentu korupsi akan hilang. Masalahnya di Indonesia memang bukan sistem, tapi lebih pada orangnya. Mutu manusia Indonesia-lah yang berpengaruh.

Memang sekarang bermunculan ide-ide untuk memunculkan suatu bentuk pemerintahan khilafah yang berasaskan Islam. Atau sistem ekonomi keuangan yang berdasar pada aturan Islam. Saya pikir, agaknya sulit menciptakan kehidupan yang lebih berbau Islam di zaman ini. Kalau mau membangun sebuah pemerintahan atau sistem-sistem Islami lainnya, tingkatkan dulu kualitas keislaman orang Indonesia. Barulah sistem yang islami akan muncul dengan sendirinya. Dan bukannya muncul karena pemaksaan dan tekanan-tekanan, seperti yang dilakukan oleh Belanda dulu.

5 tanggapan untuk “Islam pun Belum Tentu Kebal Devide et Impera

  1. Devide et impera dalam khazanah istilah kita mengenalnya sebagai “politik adu domba” dan “politik belah bambu” keduanya diartikan sebagai politik untuk memecah belah. Yang menarik kenapa Devide et impera diistilahkan sebagai “politik adu domba”??? sepengetahuan saya adu domba khas rakyat jawa barat dan domba adu yang terkenal adalah domba garut. Berbeda dengan aduan lain seperti adu ayam, adu domba yang beradu adalah kepala. Pemusatan energi di kepala yang diawali dengan awahan sang domba yang menentukan menang tidaknya si domba.

    So … sepanjang umat Islam rela n ridho jadi “domba” yang isi kepalanya diadu-adu oleh penguasa domba maka selamanya akan menjadi atraksi yang digemari dan yang kalah siap2 saja disembelih 😀 … nah “domba2 tersesat” inilah yang bakal terus menerus diadu-adu. Maka “perang pemikiran” terjadi diantara domba vs domba 😦

    Hatur tararengkyu n semangat always 😉

    1. itulah pak kopral. org islam sekrg lebih suka mengerskan kepalany daripda mengasah isi keplny. seolah2 dengn kepla krasny semua problm bisa dgn mudh diatsi 😦
      smga dimulai dari obrolan kita ini, akan ada saat yg lbih baek lg utk umat, shingga domba2 kmbali lagi ke padang rumput & gak tersesat lagi
      trims dah mau mampir pak kopral 🙂
      juga trims buat referensiny 🙂 ah, mencerahkan

Tinggalkan komentar